Tuesday, April 2, 2013

bentuk lahan asal denudasional


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Bumi kita ini bukanlah benda yang statis karena Permukaan bumi selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sebagai akibat dari tenaga dan proses geomorfologi, baik yang berasal dari luar bumi (eksogen bersifat degradasi dan agradasi) maupun berasal dari dalam dalam bumi (endogen mencakup diastrofisme dan vulkanisme). Dalam membicarakan perubahan muka bumi yang bersifat degradasi (destruktif) dan agradasi (konstruktif), terlebih dahulu dikemukakan mengenai pengertian mengenai tenaga dan proses geomorfologi. Tenaga geomorfologi merupakan kekuatan yang menyebabkan permukaan bumi mengalami perubahan. Sedangkan proses geomorfologi yang maksud adalah kelangsungan perubahan sebagai akibat dari tenaga geomorfologi.
Bentuk lahan yang ada di permukaan bumi berdasarkan proses asalnya dibagi menjadi 9, salah satunya adalah Bentuk lahan asal denudasional. Bentuk lahan ini terjadi akibat pengaruh dari gaya eksogen. Gaya tersebut menyebabkan permukaan bumi mengalami “perusakan” dan pengelupasan permukaan sehingga terbentuk permukaan yang berbeda dari sebelumnya.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kami merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Apa yang dimaksud dengan Bentuk Lahan Asal Denudasional?
2.    Bagaimana ciri-ciri Bentuk Lahan Asal Denudasional?
3.    Bagaimana Proses terbentuknya Bentuk Lahan Asal Denudasional?
4.    Apa Contoh bentuk Lahan Asal Denudasional?
5.    Apa dampak proses Bentuk Lahan Asal Denudasional?
6.    Bagaimana mengatasi dampak proses Bentuk Lahan Asal Denudasional?




C.   Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.    Untuk mengetahui definisi dari bentuk lahan asal denudasional.
2.    Untuk mengetahui ciri-ciri bentuk lahan asal denudasional.
3.    Untuk mengetahui Proses terbentuknya bentuk lahan asal denudasional
4.    Untuk mengetahui Contoh bentuk lahan asal denudasional
5.    Untuk mengetahui dampak proses bentuk lahan asal denudasional
6.    Untuk mengetahui cara mengatasi dAmpak dari proses bentuk lahan denudasional.

























BAB II
PEMBAHASAN
A.   Definisi Bentuk Lahan Asal Denudasional
Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Bentuk lahan asal denudasional dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk lahan yang terjadi akibat proses-proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wating) dan proses pengendapan yang terjadi karena agradasi atau degradasi (Herlambang, Sudarno. 2004:42). Proses degradasi cenderung menyebabkan penurunan permukaan bumi, sedangkan agradasi menyebabkan kenaikan permukaan bumi.
Denudasi meliputi dua proses utama yaitu Pelapukan dan perpindahan material dari bagian lereng atas ke lereng bawah oleh proses erosi dan gerak massa batuan (masswashting).
Pelapukan adalah proses berubahnya sifat fisik dan kimia batuan di permukaan dan atau dekat permukaan bumi tanpa di sertai perpindahan material. Pelapukan dapat dibagi manjadi pelpukan fisik, dan pelapukan biotic. Pelapukan fisik merupakan proses pecahnya batuan menjadi ukuran yang lebih kecil tanpa diikuti oleh perubahan komposisi kimia batuan. Perubahan kimia merupakan proses berubahnya komposisi kimia batuan sehingga menghasilkan mineral sekunder.
Factor pengontrol pelapukan adalah batuan induk, aktivitas organism, topografi, dan iklim. Didalam evolusi bentanglahan yang menghasilkan bentuklahan dedasuonal M. W. Davis mengemukakan adanya3 faktor yang mempengaruhi perkembangan bentuklahan struktur geologi, proses geomorfologi, waktu. Dengan adanya factor tersebut maka dalam evolusinya, bentuklahan melewati beberapa stadium ; stadium muda, stadium dewasa, stadium tua.
W. PENCK menganggap bahwa perkembangan bentuk lahan ditandai dengan adanya proses evolusi lereng dari tipe “Main Slope Retreat’sehingga dalam perkembangannya kereng selalu mundur dengan besar lereng dan bentuk lereng yang tetap dan dengan hasil akhir berupa bentuk sisa yang meruncing (Misal INSELBERG). Akan tetapi pendapat m.w davis evolusi lereng terjadi secara “Main Slope Decline”, yakni titik perkembangan lereng tetap, lereng lama kelamaan menjadi kecil dan memanjang serta bentuk lereng berubah menjadi lebih panjang dan cembung. Dengan demikian maka hasil akhir yang terjadi mempunyai bentuk berupa bukit rendah dengan puncak membulat, dan biasanya membentuk suatu ”Naris Dataran (peneplain).
Proses denudasi merupakan proses yang cenderung mengubah bentuk permukaan bumi yang disebut dengan proses penelanjangan. Proses yang utama adalah degradasi berupa pelapukan yang memproduksi regolit dan saprolit serta proses erosi, pengangkutan dan gerakan massa. Proses ini lebih sering terjadi pada satuan perbukitan dengan material mudah lapuk dan tak berstruktur. Proses degradasi menyebabkan agradasi pada lerengkaki perbukitan menghasilkan endapan koluvial dengan material tercampur. Kadang proses denudasional terjadi pula pada perbukitan struktur dengan tingkat pelapukan tinggi, sehingga disebut satuan struktural denudasional.
Proses denudasional sangat dipengaruhi oleh tipe material (mudah lapuk), kemiringan lereng, curah hujan dan suhu udara serta sinar matahari, dan aliran-aliran yang relatif tidak kontinyu. Karakteristik yang terlihat di foto udara, umumnya topografi agak kasar sampai kasar tergantung tingkat dedudasinya, relief agak miring sampai miring, pola tidak teratur, banyak lembah-lembah kering dan erosi lereng/back erosion, penggunaan lahan tegalan atau kebun campuran dan proses geomorfologi selalu meninggalkan bekas di lereng-lereng bukit dan terjadi akumulasi di kaki lereng, serta kenampakan longsor lahan lebih sering dijumpai.
Umumnya bentuk lahan ini terdapat pada daerah dengan topografi perbukitan atau gunung dengan batuan yang lunak (akibat proses pelapikan) dan beriklim basah, sehingga bentuk strukturnya tidak nampak lagikarena adanya gerakan massa batuan. Pembagian bentuk lahan denudasional dapat dilakukan dengan lebih rinci dengan mempertimbangkan : batuan, proses gerak massa yang terjadi dan morfometri.

B.   Ciri-ciri Bentuk Lahan Asal Denudasional
Ciri-ciri dari bentuk lahan yang asal terjadi secara denudasioanal, yaitu:
1.   Relief  sangat jelas: lembah, lereng, pola aliran sungai.
2.   Tidak ada gejala struktural, batuan massif, dep/strike tertutup.
3.   Dapat dibedakan dengan jelas terhadap bentuk lain
4.   Relief lokal, pola aliran dan kerapatan aliran menjadi dasar utama untuk merinci satuan bentuk lahan
5.   Litologi menjadi dasar pembeda kedua untuk merinci satuan bentuk lahan. Litologi terasosiasi dengan bukit, kerapatan aliran,dan tipe proses.

C.   Proses Terbentuknya Bentuk Lahan Asal Denudasional
Denudasi meliputi proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wating) dan proses pengendapan/sedimentasi.
1. Pelapukan
Pelapukan (weathering) dari perkataan weather dalam bahasa Inggris yang berarti cuaca, sehingga pelapukan batuan adalah proses yang berhubungan dengan perubahan sifat (fisis dan kimia) batuan di permukaan bumi oleh pengaruh cuaca. Secara umum, pelapukan diartikan sebagai proses hancurnya massa batuan oleh tenaga Eksogen, menurut Olliver(1963) pelapukan adalah proses penyesaian kimia, mineral dan sifat fisik batuan terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Akibat dari proses ini pada batuan terjadi perubahan warna, misalnya kuning-coklat pada bagian luar dari suatu bongkah batuan. Meskipun proses pelapukan ini berlangsung lambat, karena telah berjalan dalam jangka waktu yang sangat lama maka di beberapa tempat telah terjadi pelapukan sangat tebal. Ada juga daerah-daerah yang hasil pelapukannya sangat tipis, bahkan tidak tampak sama sekali, hal ini terjadi sebagai akibat dari pemindahan hasil pelapukan pada tempat yang bersangkutan ke tempat lain. Tanah yang kita kenal ini adalah merupakan hasil pelapukan batuan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi  pelapukan adalah:
A.    Jenis batuan (kandungan mineral, retakan, bidang pelapisan, patahan dan retakan). Batuan yang resisten lebih lambat terkena proses eksternal sehingga tidak mudah lapuk, sedangkan batuan yang tidak resisten sebaliknya. Contoh :
1.    Limestone, resisten pada iklim kering tetapi tidak resisten pada iklim   basah.
2.    Granit, resisten pada iklim basah tetapi tidak resisten pada iklim kering.
B.    Iklim, terutama tenperatur dan curah hujan sangat mempengaruhi pelapukan.Contoh :
1.    Iklim kering, jenis pelapukannya fisis
2.    Iklim basah, jenis pelapukannya kimia
3.    Iklim dingin, jenis pelapukannya  mekanik
C.   Vegetasi, atau tumbuh-tumbuhan mempunyai peran yang cukup besar terhadap proses pelapukan batuan. Hal ini dapat terjadi karena:
1.    Secara mekanis akar tumbuh-tumbuhan itu menembus batuan,   bertambah panjang dan membesar menyebabkan batuan pecah.
2.    Secara kimiawi tumbuh-tumbuhan melalui akarnya mengeluarkan zat-zat kimia yang dapat mempercepat proses pelapukan batuan. Akar, batang, daun yang membusuk dapat pula membantu proses pelapukan, karena pada bagian tumbuhan yang membusuk akan mengeluarkan zat kimia yang mungkin dapat membantu menguraikan susunan kimia pada batuan. Oleh karena itu, jenis dan jumlah tumbuhan yang ada di suatu daerah sangat besar pengaruhnya terhadap pelapukan. Sebenarnya antara tumbuh-tumbuhan dan proses pelapukan terdapat hubungan yang timbal balik.
D.   Topografi
Topografi yang kemiringannya besar dan menghadap arah datangnya sinar matahari atau arah hujan, maka akan mempercepat proses pelapukan.
Jenis-jenis pelapukan ada beberapa, yaitu :
a.   Pelapukan fisik (mekanis), yaitu pelapukan yang disebabkan oleh perubahan volume batuan, dapat ditimbulkan oleh perubahan kondisi lingkungan (berkurangnya tekanan, insolasi, hidrasi, akar tanaman, binatang, hujan dan petir), atau karena interupsi kedalam pori-pori atau patahan batuan
b.   Pelapukan kimiawi, yaitu pelapukan yang ditimbulkan oleh reaksi kimia terhadap massa batuan. Air, oksigen dan gas asam arang mudah bereaksi dengan mineral, sehingga membentuk mineral baru yang menyebabkan batuan cepat pecah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas pelapukan kimiawi :
1.        Komposisi batuan
Ada mineral yang mudah bereaksi dengan air, oksigen dana gas asam arang, ada juga yang sulit. Bagi mineral yang mudah bereaksi dengan air, oksigen dan gas asam arang akan cepat lapuk daripada mineral yang sulit bereaksi dengan air, oksigen dan asam arang.
2.        Iklim
Daerah yang mempunyai iklim basah adan panas misalnya ilim hujan tropis akan mempercepat proses reaksi kimia, sehingga batuan menjadi cepat lapuk.
3.        Ukuran batuan
Makin kecil ukuran batuan makin intensif reaksi kimia pada batuan tersebut berarti makin cepat pelapukannya.
4.        Vegetasi dan binatang
Dalam hidupnya vegetai dan binatang menghasilkan asam-asam tertentu, oksigen dan gas asam arang sehingga mudah bereaksi dengan batuan. Artinya vegetasi dan binatang ikut mempercepat proses pelapukan batuan.
c.    Pelapukan organik,
yaitu pelapukan yang disebabkan oleh mahkluk hidup, seperti lumut. Pengaruh yang disebabkan oleh tumbuh tumbuhan ini dapat bersifat mekanik atau kimiawi. Pengaruh sifat mekanik yaitu berkembangnya akar tumbuh-tumbuhan di dalam tanah yang dapat merusak tanah disekitarnya. Pengaruh zat kimiawi yaitu berupa zat asam yang dikeluarkan oleh akar- akar serat makanan menghisap garam makanan. Zat asam ini merusak batuan sehingga garam-garaman mudah diserap oleh akar. Manusia juga berperan dalam pelapukan melalui aktifitas penebangan pohon, pembangunan maupun penambanga.

2. Gerakan massa batuan (mass wasting)
yaitu perpindahan atau gerakan massa batuan atau tanah yang ada di lereng oleh pengaruh gaya berat atau gravitasi atau kejenuhan massa air. Ada yang menganggap masswasting itu sebagai bagian dari pada erosi dan ada pula yang memisahkannya. Hal ini mudah difahami karena memang sukar untuk dipisahkan secara tegas, karena dalam erosi juga gaya berat batuan itu turut bekerja.
Pada batuan yang mengandung air, gerakan massa batuan itu lebih lancar dari pada batuan yang kering. Perbedaannya ialah bahwa pada masswasting, air hanya berjumlah sedikit dan fungsinya bukan sebagai pengangkut, melalinkan hanya sekedar membantu memperlancar gerakan saja. Sedang dalam erosi diperlukan adanya tenaga pengangkut. Gerakan massa batuan pada dasarnya disebabkan oleh adanya gayaberat/gravitasi atau gaya tarik bumi.
Faktor-faktor pengontrol mass wasting antara lain:
1.      Kemiringan lereng,
Makin besar sudut kemiringan lereng dari suatu bentuk lahan semakin besar peluang terjadinya Mass Wasting, karena gaya berat semakin berat pula.
2.       Relief lokal,
Terutama yang mempunyai kemiringan lereng cukup besar, misal kubah, perbukitan mempunyai peluang yang besar untuk terjadinya Mass Wasting.
3.      Ketebalan hancuran batuan(debris) diatas batuan dasar,
 Ketebalan hancuran batuan atau Debris diatas batuan dasar makin tebal hancuran batuan yang berada diatas batuan dasar, makin besar pula peluang untuk terjadinya Mass Wasting, karena permukaan yang labil makin besar pula.
4.      Orientasi bidang lemah dalam batuan,
 Pada umumnya Mass wasting akan mengikuti alur bidang lemah dalam batuan, karena orientasi bidang lemah tersebut akan lapuk lebih dahulu kemudian materi yang lapuk akan bergerak.
5.      Iklim,
Kondisi iklim disuatu daerah akan mempengaruhi cepat atau lambatnya Mass wasting.
6.      Vegetasi,
Daerah yang tertutup oleh vegetasi atau tumbuh-tumbuhan peluang untuk terjadinya Mass Wasting kecil, karena vegetasi dapat menahan laju gerakan massa batuan di permukaan.

7.      Gempa bumi,
Daerah yang sering mngalami gempa bumi cenderung labil, sehingga peluang terjadinya Mass wasting besar.
8.      Tambahan material pada bagian atas lereng
Di daerah gunung api aktif sering terjadi penambahan material di bagian atas lereng akibat letusan sehingga akan memperbesar peluang terjadinya Mass wasting.
Klasifikasi mass wasting:
a.   Slow flowage (gerakan lambat)
Gerakan lambat meliputi rayapan dan solifluksi. Rayapan (creep) adalah pemindahan massa batuan yang lambat hingga tidak mudah diamati.
Menurut bahan yang dipindahkan dan cara pemindahannya masih dapat
diklasifikasikan lagi menjadi:
  Rayapan tanah (soil creep):
 Yaitu gerakan massa tanah/batuan secara lambat ( <1cm/th ) menuruni lereng, sebagai akibat gravitasi. Akibat dari adanya rayapan ini tidak jelas hanya saja pada tiang telepon, tiang listrik, pohon-pohon menjadi miring/agak miring. Lahan seperti ini tidak baik untuk dijadikan lahan persawahan ataupun untuk permukiman.
  Rayapan puing hasil rombakan batuan (talus creep),
Rayapan puing hasil rombakan batuan (talus creep),pada prinsipnya sama dengan soil creep, hanya bahannya saja yang berbeda. Gejala ini banyak terjadi pada daerah-daerah yang mengalami pergantian antara pembekuan dan pencairan kembali.
  Rayapan batu (rock creep):
Apabila bahan-bahan yang bergerak berupa bongkah-bongkah besar dengan gerakannya yang perlahan-lahan.
  Rayapan lawina batuan (rock glacier creep):
Dilihat dari segi bahannya sama dengan rock creep. Perbedaannya adalah bahwa pada rayapan lawina, batuan tampak seperti anak-anak sungai (bercabang-cabang yang menggerakan massa batuan tersebut menuruni lereng).
● Solifluksi, yaitu pengaliran massa batuan yang jenuh akan air. Hal ini terjadi terutama di daerah dingin (daerah lintang tinggi dan di daerah pegunungan tinggi). Oleh karena itu, jelaslah bahwa dalam proses ini terdapat kadar air yang tinggi, namun demikian air dalam hal ini tidak menjadi faktor pengangkut. Ada beberapa faktor yang mendorong untuk terjadinya solifluksi, yaitu:
· Proses pelapukan berlangsung cepat
· Adanya persediaan air yang cukup, biasanya dari pencairan salju
· Adanya lereng yang curam dan tidak bervegetasi
b.   Rapid flowage (gerakan cepat),
Pemindahan cepat ini disebabkan oleh adanya kadar air yang lebih tinggi, sehingga batuan/tanah yang bergerak itu jenuh. Oleh karena itu, diperoleh kesan bahwa batuan itu mengalir. Pemindahan secara cepat ini meliputi:
  ● Aliran tanah (Earth flow)
Adalah aliran massa batuan yang jenuh air menuruni lereng. Gerakan/ aliran ini dibedakan sebagai berikut:
1.    Earth Flow murni, alirannya sejajar permukaan.
2.    Gabungan earth flow dan mendatar (slumping, kadang-kadang alirannya intermittent dan mengalami rotasi ke belakang (back ward rotation)
● Aliran lumpur (Mud flow)
yaitu aliran hancuran batuan halus yang bercampur dengan air melalui lembah-lembah, terjadi didaerah iklim kering.
Penyebabnya adalah:
1.    Material tidak kompak, melicin jika basah.
2.    Berada di lereng terjal.
3.    Ada air yang bergerak.
4.    Vegetasi jarang.
● Lawina hasil rombakan (Debris avalanche)
yaitu aliran hancuran batuan halus yang bercampur dengan air melalui lembah-lembah, terjadi didaerah iklim kering.
c.    Very rapid flowage (gerakan sangat cepat), gerakan ini didominasi pengaruh gravitasi.Gerakan ini meliputi slumping, debris slide, rock slide, debris fall, dan rock fall.
  slumping (nendatan) adalah merupakan gerakan massa tanah atau batuan secara terputus-putus dan hanya menempuh jarak dengan memperlihatkan gerak berputar ke belakang, hingga tampak pada permukaannya seperti yang disesar naikan. Seringkali tanah nedat itu merupakan suatu rangkaian, sehingga tampak berteras-teras kecil. Penyebab slumping yang terpenting adalah pengirisan di bawah lereng oleh sungai, gelombang atau secara antropogenis.
Debris slide merupakan lahan longsor yang biasa, tidak terjadi gerakan ke belakang melainkan batuan itu berguling-guling atau meluncur ke bawah. Kadar airnya rendah. Jika kadar airnya tinggi akan terjadi debris avalanhce.
Rock Slide,  adalah gerakan batuan meluncur diatas bidang batas lapisan atau bidang retakan yang miring.
Debris fall. Kalau lereng tempat bahan bahan rombakan itu bergerak sangat curam, maka gerak bahan rombakan bongkah batuan bukan meluncur tetapi jatuh. Dengan demikian gejala iti tidak dinamakan lahan longsor, melainkan dinamakan jatuhan bahan rombakan (debris fall).
rock fall. Apabila lereng tgak lurus, maka yang terjadi adalah rock fall.
d.    Terban/ amblesan (subsidence), gerakan massa batuan tipe ini adalah ke bawah atau vertikal tanpa disertai gerakan mendatar/horisontal. Hal ini dapat terjadi apabila atap goa bawah tanah runtuh, ketika tidak kuat menahan lapisan batuan yang ada di bagian atas goa. Subsidence juga bisa terjadi karena adanya tenaga tektonik yang dapat menimbulkan patahan ada kulit, sehingga terjadi patahan. Patahan tersebut ambles ke bawah dan dapat berupa slenk.

3.  Erosi
          Erosi adalah suatu proses geomorfologi, yaitu proses pelepasan dan terangkutnya material bumi oleh tenaga geomorfologis baik kekuatan air, angin, gletser atau gravitasi. Faktor yang mempengaruhi erosi tanah antara lain sifat hujan, kemiringan lereng dari jaringan aliran air, tanaman penutup tanah, dan kemampuan tanah untuk menahan dispersi dan untuk menghisap kemudian merembeskan air kelapisan yang lebih dalam.
  Faktor-faktor lain yang mempengaruhi erosi tanah adalah:
a.    Iklim: Faktor iklim yang berpengaruh adalah curah hujan, angin, temperatur, kelembapan, penyinaran matahari. Banyaknya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan, serta besarnya kerusakan erosi. Angin selain sebagai agen transport dalam erosi beberapa kawasan juga bersama-sama dengan temperatur, kelembaban dan penyinaran matahari terhadap evapotranspirasi, sehingga mengurangi kandungan air dalam tanah yang berarti memperbesar investasi tanah yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepekaan erosi tanah.
b.    Topografi: kemiringan lereng, panjang lereng, konfigurasi, keseragaman, dan arah lereng mempengaruhi erosi. Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajad atau persen. Kecuraman lereng memperbesar jumlah aliran permukaan, dan memperbesar kecepatan aliran permukaan, sehingga dengan demikian memperbesar daya angkut air. Semakin besar erosi terjadi dengan makin curamnya lereng.
c.    Vegetasi, berperan  untuk mengurangi kecepatan erosi. Kaitannya jenis tumbuhan, aliran permukaan dan jumlah erosi adalah seperti dalam Tabel berikut:
No.
Jenis tanah
Jenis Tumbuhan
Aliran permukaan
(% terhadap CH)
Erosi (ton/ha/th)
1.
Podsolik merah kuning
(lereng 15%)
Alang-alang
3,3
0,7
Alang-alang +semak
0,5
0,7
Albazia +semak campuran
5,8
0,7
Alabazia tanpa semak (umur 3 th)
71,4
79,8
2.
Latosol (lereng 35%)
Rumput utuh
4,4
0,2
Rumput diinjak-injak
17,2
1,0
Fiscus allastica
21,4
43,1
 Fiscus allastica + semak-semak
2,0
0
3.
Regosol (lereng 30%,
19%, 30%, 21%)
Alag-alang, jagung, kacang tanah
11,9
345,0
Alang-alang + gelagah
5,0
3,5
Semak lantana
2,1
5,1
Alang-alang dibakar 1 x
5,0
7,3
d.  Tanah. Kepekaan tanah terhadap erosi tergantung pada sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas, kapasitas menahan air dan struktur tanah.
e.  Manusia. Manusia dapat mencegah dan mempercepat terjadinya erosi tergantung bagaimana manusia mengelolanya.
Setiap proses erosi merupakan gabungan dari beberapa subproses, yaitu dimulai dengan pengambilan hasil pelapukan yang terangkut juga sebagai alat pengikis. Butir-butiran batuan secara bersama-sama dalam pengangkutan, saling bersinggungan dan saling bergesekan satu sama lain. Cara pengangkutan terhadap bahan terjadi berbeda-beda: ada yang terapung di permukaan, digulingkan, digeser dan sebagainya.
Klasifikasi bentuk erosi :
·         Erosi percik (splash erotion),
ialah proses percikan partikel-partikel tanah halus yang disebabkan oleh pukulan tetes air hujan terhadap tanah dalam keadaan basah (Yunianto, 1994).
·         Erosi lembar (sheet erosion)
adalah erosi yang terjadi karena pengangkutan atau pemindahan lapisan tanah yang hampir merata ditanah permukaan oleh tenaga aliran perluapan. Erosi ini sepintas lalu tidak terlihat, karena kehilangan lapisan-lapisan tanah seragam, tetapi dapat berbahaya karena pada suatu saat seluruh top soil akan habis.
·         Erosi alur (rill erosion).
Erosi ini terjadi karena adanya proses erosi dengan sejumlah saluran kecil (alir) yang dalamnya <30 cm, dan terbentuk terutama dilahan pertanian yang baru saja diolah. Erosi ini dimulai dengan genangan-genangan kecil setempat-setempat di suatu lereng, maka bila air dalam genangan itu mengalir, terbentuklah alur-alur bekas aliran air tersebut. Alur-alur itu mudah dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa.
·         Erosi parit (channel erosion).
Erosi ini terbentuk sama dengan erosi alur, tetapi tenaga erosinya berupa aliran lipasan dan alur-alur yang terbentuk sudah sedemikian dalam sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah secara biasa. Parit-parit yang besar sering masih terus mengalir lama setelah hujan berhenti. Aliran air dalam parit ini dapat mengikis dasar parit atau dinding-dinding tebing parit di bawah permukaan air, sehingga tebing diatasnya dapat runtuh ke dasar parit. Adanya gejala meander dari alirannya dapat meningkatkan pengikisan tebing di tempat-tempat tertentu.
    
4. Sedimentasi atau Pengendapan
Sedimentasi adalah proses penimbunan tempat-tempat yang lekuk dengan bahan-bahan hasil erosi yang terbawa oleh aliran air, angin, maupun gletser (Suhadi Purwantara, 2005:74). Sedimentasi tidak hanya terjadi dari pengendapan material hasil erosi saja, tetapi juga dari proses mass wasting. Namun kebanyakan terjadi dari proses erosi. Sedimentasi terjadi karena kecepatan tenaga media pengangkutnya berkurang (melambat). Berdasarkan tenaga alam yang mengangkutnya sedimentasi dibagi atas : Sedimentasi air sungai (floodplain dan delta), air laut, angin, dan geltsyer.

D. Satuan Bentuk Lahan Asal Denudasioal
1. Pegunungan Denudasional
       Karakteristik umum unit mempunyai topografi  bergunung dengan lereng  sangat curam (55>140%), perbedaan tinggi antara tempat terendah dan tertinggi (relief) > 500 m.Mempunyai lembah yang dalam, berdinding terjal berbentuk V karena proses yng dominan adalah proses pendalaman lembah (valley deepening).
2. Perbukitan Denudasional
       Mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan lereng berkisar antara 15 > 55%, perbedaan tinggi (relief lokal) antara 50 -> 500 m.Terkikis sedang hingga kecil tergantung pada kondisi litologi, iklim, vegetasi penutup daik alami maupun tata guna lahan. Salah satu contoh adalah pulau Berhala, hamper 72,54 persen pulau tersebut merupakan perbukitan dengan luas 38,19 ha. Perbukitan yang berada di pulau tersebut adalah perbukitan denudasional terkikis sedang yang disebabkan oleh gelombang air laut serta erosi sehingga terbentuk lereng-lereng yang sangat curam.
3. Dataran Nyaris (Peneplain)
       Akibat proses denudasional yang bekerja pada pegunungan secara terus menerus, maka permukaan lahan pada daerah tersebut menurun ketinggiannya dan membentuk permukaan yang hamper datar yang disebut dataran nyaris (peneplain). Dataran nyaris dikontrol oleh batuan penyusunan yang mempunyai struktur berlapis (layer). Apabila batuan penyusun tersebut masih dan mempunyai permukaan yang datar akibat erosi, maka disebut permukaan planasi.
4. Perbukitan Sisa Terpisah (inselberg)
Apabila bagian depan (dinding) pegunungan/perbukitan mundur akibat proses denudasi dan lereng kaki bertambah lebar secara terus menerus akan meninggalkan bentuk sisa dengan lereng dinding yang curam. Bukit sisah terpisah atau inselberg tersebut berbatu tanpa penutup lahan (barerock) dan banyak singkapan batuan (outcrop). Kenampakan ini dapat terjadi pada pegunungan/perbukitan terpisah maupun pada sekelompok pegunungan/perbukitan, dan mempunyai bentuk membulat. Apabila bentuknya relative memanjang dengan dinding curam tersebut monadnock.
5. Kerucut Talus (Talus cones) atau kipas koluvial (coluvial van)
Mempunyai topografi berbentuk kerucut/kipas dengan lereng curam (350). Secara individu fragmen batuan bervariasi dari ukuran pasir hingga blok, tergantung pada besarnya cliff dan batuan yang hancur. Fragmen berukuran kecil terendapkan pada bagian atas kerucut (apex) sedangkan fragmen yang kasar meluncur ke bawah dan terendapkan di bagian bawah kerucut talus.
6. Lereng Kaki (Foot slope)
Mempunyai daerah memanjang dan relatif sermpit terletak di suatu pegunungan/perbukitan dengan topografi landai hingga sedikit terkikis. Lereng kaki terjadi pada kaki pegunungan dan lembah atau dasar cekungan (basin). Permukaan lereng kaki langsung berada pada batuan induk (bed rok). Dipermukaan  lereng kaki terdapat fragmen batuan hasil pelapukan daerah di atasnya yang diangkut oleh tenaga air ke daerah yang lebih rendah.
7. Lahan Rusak (Bad  land)
Merupakan daerah yang mempunyai topografi dengan lereng curam hingga sangat curam dan terkikis sangat kuat sehingga mempunyai bentuk lembah-lembah yang dalam dan berdinding curam serta berigir tajam (knife-like) dan membulat. Proses erosi parit (gully erosion) sangat aktif sehingga banyak singkapan batuan muncul ke permukaan (rock outcrops).

E. Dampak Proses Bentuk Lahan Asal Denudasional
Proses bentuk lahan denudasional adalah erosi, mass wasting, dan juga pelapukan. Ketiga proses tersebut memberikan dampak atau pengaruh bagi lahan di permukaan bumi. Selain, menyebabkan terbentuknya lahan baru seperti yang telah dijelaskan di atas (contoh satuan bentuk lahan asal denudasional), ketiga proses tersebut juga membawa dampak lain.

Dampak Erosi

Akibat yang ditimbulkan erosi beragam dan dampaknya sangat luas, diantaranya :
1. Penurunan Produktivitas tanah akibat hilangnya bahan organik yang terkandung di dalam tanah. Bahan organik tersebut merupakan bahan utama penentu kesuburan tanah.
2. Terjadinya pemadatan tanah sehingga menyebabkan terjadinya penurunnan kapasitas infiltrasi tanah.
3. Terjadinya pengendapan bahan endapan pada sumber-sumber air, danau, dan bendungan sehingga terjadi pendangkalan.
4.  Terjadinya banjir di bagian hilir sungai akibat pendangkalan.
5. Memperluas daratan di bumi.
Erosi yang terjadi di daerah pegunungan materialnya akan dibawa ke laut dan mengendap di dasar laut. Peristiwa seperti ini telah berlangsung jutaan tahun lamanya sehingga endapan yang terbentuk semakin lama semakin luas dan tebal yang akhirnya membentuk daratan.

Dampak Pelapukan

1. Pemicu gerak massa batuan
2. Terjadinya Degradasi permukaan lahan
3. Memunculkan habitat
Dengan adanya pelapukan terhadap batuan, terbentuklah tanah sehingga memunngkinkan tumbuh-tumbuhan hidup di atas tanah tersebut
4.  Rusaknya struktur batuan sehingga terbentuk  bentukan baru pada permukaan bumi. Bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh pelapukan, yaitu :
a. Differential Watering
Istilah ini digunakan bagi semua jenis pelapukan yang melubangi bagian-bagian yang lunak dari massa batuan. Hasilnya dapat berupa cekungan atau jalur torehan atau menimbulkan relief yang kuat pada berkas-berkas endapan yang terdiri dari materi yang tahan terhadap desintegrasi dan dekomposisi.
b. Demoiselles
Bentuk yang dihasilkan kadang-kadang terdapat pada glacial till, materi-materi yang kecil dihilangkan karena materi tersebut tertutup oleh batuan resisten yang selanjutnya akan berupa pilar-pilar yang bagian atasnya mendapat penutup batuan yang keras tersebut.
c.  Boulders
Kadang-kadang batuan mempunyai pola beririsan sehingga berbentuk blok-blok yang berbentuk romboedris. Retakan-retakan itu demikian sempit sehingga sukar dilihat sepintas lalu, tetapi hal ini bukan suatu halangan untuk terjadi pelapukan. Sudut-sudut atau rusuk-rusuk lebih cepat mengalami penumpukan sehingga terjadi tumpukan-tumpukan batuan yang berbentuk oval, batuan yang berbentuk oval tersebut yang disebut Boulders.

Dampak Mass Wasting

1. Gerak massa batuan dapat mendorong dan menyebabkan bencana tanah longsor apabila didukung oleh terganggunya kestabilan pada tanah.
2. Pengendapan atau sedimentasi di daerah bagian bawah.
3.  Pembalikan lapisan tanah
Dampak Sedimentasi
1.  Terjadi pendangkalan di DAS, danau, dan bendungan
2.  Banjir akibat pendangkalan di daerah hilir sungai
3.  Pengendapan secara terus menerus menyebabkan terbentuknya beberapa bentukan alam antara lain : kipas alluvial, meander, dataran banjir, delta, gosong, nehrung, haff, tombolo, gurun pasir, dan lain-lain.



F.  Cara Mengatasi Dampak Proses Bentuk Lahan Asal Denudasional
a. Upaya Pengendalian Erosi
Erosi tidak dapat dicegah secara sempurna karena merupakan proses alam. Pencegahan erosi merupakan usaha pengendalian terjadinya erosi yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan bencana. Ada banyak cara untuk mengendalikan erosi antara lain :
1. Pengolahan Tanah.
Areal tanah yang diolah dengan baik dengan penanaman tanaman, penataan tanaman yang teratur akan mengurangi tingkat erosi
2. Pemasangan Tembok Batu Rangka Besi
Dengan membuat tembok batu dengan kerangka kawat besi di pinggir sungai dapat mengurangi erosi air sungai
3. Penghutanan Kembali
Yaitu mengembalikan suatu wilayah hutan pada kondisi semula dari keadaan yang sudah rusak
4. Penempatan Batu Batu Kasar sepanjang Pinggir Pantai untuk mengurangi erosi akibat air laut.
5. Pembuatan Pemecah Angin atau Gelombang
Pohon pohonan yang ditanam beberapa garis untuk mengurangi kekuatan angin atau gelombang.
6. Pembuatan Teras Tanah Lereng
Teras tanah berfungsi untuk memperkuat daya tahan tanah terhadap gaya erosi

b.  Cara untuk mencegah gerakan massa batuan antara lain:
1.  Menanami lereng dengan tumbuhan terutama yang berakar tunjang/dihutankan.
2.  Membuat teras-teras pada lereng.
3.  Bangunan di lereng dibuatkan beton penahan.
4. Apabila bagian bawah lereng dipotong/digali untuk keperluan tertentu, perlu dibuatkan saluran pembuangan air di bawah tanah.
5.  Menahan batuan agar tidak bergeser sepanjang bidang lemah batuan(bidang batas batuan/bidang retakan)


c.  Cara mengatasi sedimentasi
1.  Melakukan pengerukan di muara-muara sungai yang mengalami pendangkalan karena sedimentasi. Tujuannya adalah untuk memperlancar arus sungai sehingga dengan demikian banjir dapat dikurangi.






























BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bentuk lahan asal denudasional merupakan suatu bentuk lahan yang terjadi akibat proses-proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wating) dan proses sedimentasi yang terjadi karena agradasi atau degradasi.
2. Ciri-ciri dari bentuk lahan yang asal terjadi secara denudasioanal, yaitu:
-Relief  sangat jelas,
-Tidak ada gejala struktural
-Dapat dibedakan dengan jelas terhadap bentuk lain
-Relief lokal, pola aliran dan kerapatan aliran menjadi dasar utama untuk merinci satuan bentuk lahan
-Litologi menjadi dasar pembeda kedua untuk merinci satuan bentuk lahan.
3. Bentuk lahan asal denudasional disebabkan oleh tenaga eksogen, yaitu : Erosi, Pelapukan, dan gerak massa batuan atau mass wasting serta pengendapan.
4. Adapun satuan bentuk lahan asal denudasioanal adalah
-       Pegunungan denudasional
-       Perbukitan denudasional
-       Dataran nyaris (peneplain)
-       Perbukitan Sisa terpisah
-       Kerucut talus
-       Lereng kaki
-       Lahan rusak
5. Dampak dari proses eksogen adalah membentuk lahan asal denudasional Selain itu erosi dapat mengakibatkan penurunan produktivitas tanah, pemandatan tanah, pendangkalan pada sumber air, perluasan daratan, dan pembalikan lapisan tanah. Untuk pelapukan mengakibatkan rusaknya struktur batuan dan tanah, pemicu mass wasting, menimbulkan habitat baru, dan degradasi lahan. Sedangkan mass wasting berpengaruh terhadap terjadinya bahaya longsor, pembalikan tanah, dan sedimentasi pada bagian bawah. Sedimentasi berdampak pada pendangkalan dan pembentukan bentukan alam yang baru.

B. Saran
Tenaga eksogen meupakan peristiwa alam yang pasti terjadi, namun membawa dampak negatif oleh sebab itu diperlukan upaya penanggulangan. Penanggulangan harus dilakukan oleh semua pihak. Adapun upaya penanggulangan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pengolahan Tanah
Areal tanah yang diolah dengan baik dengan penanaman tanaman, penataan tanaman yang teratur akan mengurangi tingkat erosi
2. Pemasangan Tembok Batu Rangka Besi
Dengan membuat tembok batu dengan kerangka kawat besi di pinggir sungai dapat mengurangi erosi air sungai
3. Penghutanan Kembali
Yaitu mengembalikan suatu wilayah hutan pada kondisi semula dari keadaan yang sudah rusak
4. Penempatan Batu Batu Kasar sepanjang Pinggir Pantai untuk mengurangi erosi akibat air laut
5. Pembuatan Pemecah Angin atau Gelombang
Pohon pohonan yang ditanam beberapa garis untuk mengurangi kekuatan angin atau gelombang
6. Pembuatan Teras Tanah Lereng
Teras tanah berfungsi untuk memperkuat daya tahan tanah terhadap gaya erosi
7. Melakukan pengerukan di muara-muara sungai yang mengalami pendangkalan karena sedimentasi. Tujuannya adalah untuk memperlancar arus sungai sehingga dengan demikian banjir dapat dikurangi.






DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2013, BloggerNine  Bentuk Lahan Asal Denudasional.htm,(online), (qusuth.wordpress.com/2008/06/10/ diakses 21 Maret 2013)

Anonym. 2013, yoeyhan febryani  SATUAN BENTUKLAHAN BERDASARKAN PROSES PEMBENTUKANNYA.htm (online), (balitbang.riau.go.id/index.php?bahasa=&litban...diakses 21 oktober 2013)

Ginting, P. dkk. 2007. IPS Geografi untuk SMP Kelas VII. Jakarta:Erlangga

Hestiyanto, Yusman. 2005. Geografi SMA Kelas X. Jakarta: Yudhistira

Purwantara, Suhadi dan Shina.2004. Panduan Pembelajaran Geografi SMA/MA Kelas X. Surakarta:Mediatama..







1 comment: